MAKALAH AKHLAK KEPADA ALLAH
MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AKHLAK
KEPADA ALLAH
OLEH :
1.
Siska Anggraeni (16612019)
2.
Nur Eka Risqiani (16612036)
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa karena rahmatNya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama Islam
ini tentang Akhlak kepada Allah tepat pada waktunya. Tujuan pembuatan Makalah
ini adalah untuk memenuhi nilai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam.
Penyusunan makalah ini tidak lepas
dari bimbingan , petunjuk serta bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu
kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak In’am selaku dosen Pengampu mata
kuliah ini. atas bimbingan dari beliau kami bisa membuat suatu makalah Pendidikan
Agama Islam ini tentang Akhlak kepada Allah, serta pihak-pihak yang telah
mendukung pembuatan makalah kami.
Kami
menyadari bahwa Makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat kami harapkan. Semoga Makalh Fisika tentang
Penjelasan Momentum Gaya ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua orang yang
membacanya, khususnya Mahasiswa Teknik Industri Universitas Muhammadiyah
Gresik.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kata
akhlak berasal dari kata bahasa arab, yaitu “khuluq” yang artinya budi
pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat, dan dapat kita ketahui bahwa akhlak
sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam pada jiwanya.
Sedangkan menurut istilah, akhlak ialah daya kekuatan jiwa yang mendorong
perbuatan dengan mudah dan tanpa berpikir dan di renungi lagi.
Dengan
demikian akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada diri manusia,
sehingga manusia dapat melakukan tanpa berpikir, akhlak dikenal juga dengan
istilah moral dan etika. Moral yang berati adat atau kebiasaan, moral selalu
dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk di terima umum atau masyrakat, karena
adat istiadat dalam satu masyarakat merupakan standar menentukan baik dan
buruknya.
Sedangkan
akhlak kepada Allah dapat di artikan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebgai makhluknya. Sehingga akhlak kepada
allah dapat di artikan segala sikap atau pebuatan manusia yang di lakukan tanpa
berfikir lagi yang memang ada pada diri manusia sebagai mamba Allah SWT.
1.2 Rumusan
Masalah
A. Apa
yang dimaksud dengan Taqwa ?
B. Apa
yang dimaksud dengan Ikhlas ?
C. Apa
yang dimaksud dengan Tawakkal ?
D. Apa
yang dimaksud dengan taubat ?
1.3 Tujuan
pembelajaran
a. Mengetahui
tentang Taqwa
b. Mengetahui
tentang Ikhlas
c. Mengetahui
tentang Tawakkal
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Taqwa
Definisi taqwa yang paling popular adalah “memelihara dari siksaan
Allah dengan mangikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya”
atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala
Larangan-Nya (imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahih)”.
Afif ‘abd Al
Fatah Thabbarah dalam bukunya Ruh adalah Din al Islami mendefinisikan taqwa
dengan “Seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang
kemarahan tuhanya dan dari segala sesuatu uang mendatangkan mudharat, baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain”.
Lebih lanjut
Thabbarah mengatakan bahwa makna asal dari taqwa adalah pemeliharaan diri. Diri
tidak perlu memelihara kecualu terhadap apa yang dia takuti. Yang paling dia
takuti adalah Allah SWT. Rasa takut
memerlukan ilmu terhadap yang ditakuti. Oelh sebab itu yang berilmu tentang
allah akan takut kepada-Nya, yang takut kepada allah akan betaqwa kepada-Nya. Muttaqin
adalah orang-orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan allah
didunia dan akhirat dengan cara berhenti dari garis batas yang telah
ditentukan, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Sedangkan Allah tidak memerintahkan kecuali yang baik untuk manusia. Dan tidak
melarang kecuali yang memberi mudharat kepada mereka.
Kalua boleh
kita membuat perumpamaan, hidup bertaqwa di dunia ibarat berjalan ditengah
rimba belantara. Seseorang akan berjalan didalam rimba dengan sangat hati-hati.
Dia awas terhadap lobang supaya tidak terperosok ke dalamnya, awas terhadap
duri supaya tidak melukai kulitnya, dana was terhadap binatang buas supaya
tidak menerkamnya. Seorang yang bertaqwa akan berhati-hati sekali menjaga
perintah allah, supaya dia tidak meninggalkanya. Hati-hati menjaga larangan
allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat selamat hidup di dunia
dan akhirat.
Hakikat Taqwa
Bila ajaran
islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah
intelegasi ketiga dimensi tersebut. Mari kita lihat ayat berikut ini :
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab allah, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, emndirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(Imanynya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS. Albaqarah 2:177)
“Kitab al-quran) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada
kitab (Al-quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
(Al-baqarah 2:2-4)
“adakah kamu hadir ketika
ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya :
“apa yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab : “kami akan menyembah
tuhanmu dan tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, ismail, dan ishaq, (yaitu) Tuhan
yang MAha Esa dan kami hanya tuduk padanya”. Itu adalah umat yang lalu; baginya
apa yang telah diusahakanya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu
tidak akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Dan mereka berkata : “hendaklah kamu menjadi penganut agama yahuni atau
nasrani, niscaya kamu mendapatkan petunjuk”. Katakanlah “Tidak, melainkan (Kami
megikuti) agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan
yang musyrik”. (QS Ali Imran 3:133-135)
Dalam surat al
baqarah aya 177 diatas bahwa allah SWT mendefinisikan al birru dnegan iman
(Beriman kepada Allah, Hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan
nabi-nabi), islam (Mendirikan shalat, dan menunaikan zakat) dan ihsan
(mendermakan harta yang dicintainya, emnepati janji, dna sabar). Setelah
disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari iman, islam, dan ihsan itu lalu
allah menutupnya dengan kalimat “Mereka itulah orang-orang yang benar dan
mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Dengan demikian dapat kita fahami
bahwa dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan iman, islam dan ihsan sekaligus.
Dalam surat
albaqarah 3-4 diatas disebutkan 4 kriteria orang yang bertaqwa, yaitu : (1)
Beriman kepada yang ghaib, (2) mendirikan shalat, (3) menafkahkan sebagian dari
rezeki yang diterimanya dari allah, (4) beriman dengan kitab suci alquran dan
kitab-kitab suci sebelumnya dan (5) beriman dengan hari akhir. Dalam dua ayat
ini maka taqwa dicirikan dengan iman, islam dan ihsan.
Sementara itu
dalam surat ali Imran ayat 134-135 disebutkan empat diantara ciri-ciri orany
yang bertaqwa yaiu : (1) Dermawan (menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang
maupun sempit, (2) mampu menahan marah, (3) pemaaf, (4) istighfar dan taubat
dari kesalahan-kesalahanya. Dalam dua ayat ini taqwa dicirikan dengan aspek
ihsan.
Dari beberapa
ayat yang dikutip diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hakikat taqwa
adalah memadukan secara integral aspek iman, islam dan ihsan dalam diri
seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu
bersamaan menjadi mukmin, muslim, dan muhsin.
Bertaqwa Secara maksimal
Dalamsurat ali Imran ayat 102 Allah SWT
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa kepadanya dengan
maksimal , yaitu : dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki. Firmanya :
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada allah sebenar-benarnya taqwa kepadanya; dan
janganlah sekali-kali kamu mato melainkan dalam keadaan beragama islam. (QS Ali
Imran 3:102).
Dalam ayat ini juga telah dijelaskan oleh Allah SWT cara bertaqwa
secara maksimal yaitu dengan melakukan Islamisasi seluruh aspek dan ruang
lingkup kehidupan (Islamiyah Hayah), karena bagaimana mungkin seorang dapat
mati sebagai muslim kalua dia tidak selalu menjadi muslim sepanjang hidupnya.
Sejalan dengan ayat diatas Rasulullah SAW bersabda :
“Bertaqwalah kamu kepada
Allah SWT dimanapun kamu berada …” (HR. Tirmizi)
Siapa saja,
diaman saja, kapan saja, dalam situasi bagaimanapun wajib bertaqwa kepada allah
SWT.
Kualitas
ketaqwaan seseorang menentukan tingkat kemuliaanya disisi Allah SWT. Semakin
maksimal taqwanya semakin mulia dia. Dalam hal ini Allah berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
lagi maha mengenal. (QS. Al hujurat 49:13)
“Sesungguhnya
seutama-utamanya manusia denganku adalah orang-orang yamg bertaqwa, siapapun
dan bagaimanapun keadaan mereka” (HR. Ahmad).
Buah dari Taqwa
Seseorang yang
bertaqwa kepada allah SWT akan memetic buahnya, baik didunia maupun di akhirat.
Buah itu antara lain :
1.
Mendapat sifat Furqan, yaitu
sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram,
serta terpuji dan tercela.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasulnya,
dan janganlah kamu berpaling daripadanya, sedang kamu mendengar
(Perintah-perintah-Nya). (QS. Al anfal 8:20)
2.
Mendapat limpahan berkah dari
langit dan bumi
“jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakanya (Ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka
disebabkan perbuatanya” (QS. Al A’raf 7:96).
3.
Mendapatkan Jalan keluar dari
kesulitan
“Barangsiapa bertaqwa kepada allah niscaya dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. (QS. At-thalaq 65:2)
4.
Mendapatkan rezeki tanpa
diduga-duga
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada allah niscaya allah akan mencukupkan
(Keperluan)nya. Sesungguhnya allah melaksanakan urusan yang (Dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At
Thalaq 65:3)
5.
Mendapatkan kemudahan dalam
Urusanya
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusanya. (QS. At Thalaq 65:4)
6.
Menerima penghapusan dan
pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami
akan memberikan kepadamu Furqaan, dan kami akan jauhkan dirimi dari
kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (Dosa-dosa)mu. Dan allah mempunyai
karunia yang besar” (QS. Al Anfal 8:29)
“Inilah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan
barangsiapa yang bertaqwa kepada allah, niscaya dia akan menghapus
kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS. At thalaq
65:5)
Lima buah yang pertama dirasakannya
di dunia dan yang terakhir di akhirat. Semua merupakan wujud dari hasanah fi
ad-dunya dan hasana fil akhirah yang menjadi dambaan setiap insan mukmin.
B.
Ikhlas
Secara estimologi ikhlash (Bahasa Arab)
berakar dari kata Khalasha dengan arti bersih, jernih, murni; tidak bercampur.
Misalnya ma’u khalish artinya air bening atau putih; tidak tercampur dengan
kopi, the, sirup, atau zat-zat lainya. Setelah dibentuk menjadi ikhlas (Mashdar
dari fi’il madhi khalasha) berarti membersihkan atau memurnikan.
Secara terminologis yang dimaksud dengan
ikhlas adalah beramal semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Sayyid sabiq
mendefinisikan sebagai berikut :
“Seseorang
berkata, beramal dsn berjihad mencari ridha allah SWt, tanpa mempertimbangkan
harta, pangkat, nama, popularitas, kemajuan atau kemunduran, supaya dia dapat
memperbaiki kelemahan-kelembahan amal dan kerendahan akhlaqnya serta dapat
berhubungan langsung dengan Allah SWT”.
Dalam Bahasa populernya ikhlas adalah
suatu perbuatan yang tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha allah
SWT. Tapi dari penegrtian seperti itu kemudian muncul pertanyaan, apakah
mengerjakan sesuatu dengan imbalan tertentu (Imbalan, Pangkat, Status dan
lain-lain) berarti tidak ikhlas ? jika jawabnya “ya”, apakah bererti Guru,
Dokter, Dosen , Da’I dan profesi lain yang menerima imbalan dianggap tidak
ikhlas ? apalagi pedagang yang memang sengaja mencari keuntungan tentu juga
tidak akan pernah kita katakana ikhlas berdagang. Dalam menjawa pertanyaan
tersebut, ada yang mencoba membagi amalan kedalam dua klasifikasi. Pertama,
amal dunia dan yang kedua amal akhirat. Untuk yang duniawi boleh meminta
imbalan materi sedangkan yang akhirat tidak boleh.
Persoalan barupun muncul seiring dengan
terdefinisnya Amalan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu dibawah ini akan
dijelaskan kriteria keikhalasan tersebut.
Tiga unsur
keihkalasan
Menurut hemat penulis persoalan
ikhlas itu tidak ditentukan oleh adaatau tidak adanya imbalan materi, seperti
ditentukan oleh tiga faktor :
1.
Niat yang ikhlas (Ikhlash an
niyah)
Dalam
islam faktor niat sangat penting. Apa saja yang dilakukan oleh seorang muslim
haruslah berdasaekan dnegan niat untuk mencari ridha allah SWT (Lillahi Rabbil
Alamin), bukan berdasarkan motivasi lain. Dikisahkan bahwa seorang laki-laki
hijrah ke madina bukan mencari Ridha Allah SWT, tapi karena ingin menikahi Umu
Qais. Semula laki-laki itu sudah berketetapan untuk menetap di mekkah, tidak
ikut hijrah bersama Rasulullah SAW dan kaum muslimin lainya. Tapi karena umu
Qais –Calon istrinya- yang sudah mantap untuk ikut hijrah, mengajukan syarat,
bahwa dia baru bersedia dinikahi di Madinah. Maka dnegan motivasi tersebut
laki-laki tadi berhijrah. Ketika ditanya oleh para sahabt kepada rasulullah SAW
apakah hijrah seperti itu diterima disisi Allah SWT:
“Sesungguhnya segala amal
perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memeperoleh
sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrah pada jalan allah dan
Rasulnya, maka hijrah-nya itu ialah kepada allah dan rasulnya. Barangsiapa yang
hijrah karena ingin memperoleh keduniaan, atau untuk mengawini seorang wanita,
maka hijrahnya ialah kearah yang ditujunya itu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Laki-laki itu
kemudian dikenal dengan sebutan muhajir ummi qais. .
Faktor
niat memang sangat menentukan diterima tidaknya amalan seseorang disisi allah
SWT. Betapapun secera lahir amalanya baik, tapi kalua niatnya bukan karena
allah SWT, maka amalanya tidak diterima, sia-sia.
Rasulullah menegasakan :
“Sesungguhnya allah tidak memandang bentuk
tubuh dan rupamu, tapi memandang hatimu” (HR. Muslim)
2.
Beramal dengan sebaik-baiknya
(itqan al amal)
Niat
yang ikhlas harus diikiti dengan amal yang sebaik-aiknya. Seorang muslim yang
mengaku ikhlas melakukan perbuatan itu sebaik-baiknya. Dia lakukan dengan etos
kerja dan profesionalitas yang tinggi. Tidak boleh sembarangan asal jadi,
apalagi acak-acakan. Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitanya dengan
honor atau imbalan materi. Sungguh keliru, kalua ada yang memahami bahwa
apabila dia bekerja tidsk mendapatkan honor, maka dia boleh berekja seenaknya
atau sesuka hatinya, tanpa memperhatikan kualitas kerja. Sebaliknya kalua dia
mendpaatkan honor dia akn bekerja sebaik-baiknya dan merasa bersalah kalua
tidak dapat melakukan tugas dnegan baik. Fenomena ini sering sekali terjadi dan
dapat kita lihat misalnya dalam organisasi massa islam. Seseorang yang
dipercaya menjadi pengurus suatu ormas tidak merasa ersalah apa-apa kalua tidak
aktif, atau kalua aktif hanya memanfaatkan sisa-sisa waktnya . karena dalam
presepsinya, tidak aktif fi ormas yang tanpa honor itu sah-sah saja, walaupun
dia dipecaya sebagai penerusnya. Berbeda dengan kalua dia mendapat gaji, maka
ia akan berusaha aktif dan penuh disiplin.
Sehubungan
dengan itqan al amal ini rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT
menyukai, bila seseorang beramal, dia melakukanua dengan sebaik-baiknya…”(HR.
Baihaqi)
3.
Pemanfaatan usaha dengan tepat
(Jaudah al ada)
Unsur
ketiga dari keikhlasan menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh misalnya
menuntut ilmu. Setelah seorang muslim berhasil melalui tahap keikhlasan, yaitu
niat ikhlas karena allah dan belajar dengan rajin, tekun dan disiplin, maka
setelah hasil mendapatkan ilmu itu, yang ditandai dengan keberhasilanya meraih
gelar kesarjanaan, bagaimana dia memanfaatkan ilmu kesarjanaanya dengan tepat.
Apakah dia memanfaatkan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri
(sekedar cari uang dan kedudukan atau bersenang-senang secara materi) atau
dimanfaatkan juga untuk kepentingan islam atau umat islam secara khusus dan
kepentingan umat manusia secara umum ? apakah dia memanfaatkan ilmunya pada
jalan yang halal atau yang haram ? semuanya itu menentukan keikhlasanya. Contoh
lain pedagang. Setealh dia luruskan motivasinya dan berusaha secara
professional, lalu setelah berhasil mendapatkan kekayaanya, untuk kekayaan itu
dimanfaatkan ? apaakah hanya sekedar untuk memuaskan hawa nafsunya untuk
kepentingan lain yang lebih mulia ? apakah dia belanjakan harta bendanya untuk
kebaikan atau kemaksiatan ? hal-hal inilah yang menentukan keikhlasanya.
Dari
uraian diatas jelaskan bagi kita bahwa ikhlas atau tidak seseorang beramal
tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya imbalan materi yang dia dapat, tapi
ditentukan oleh niat, kualitas amal pemanfaatan hasil. Atau dengan kata lain
tidak setiap yang gratis itu otomatis ikhlas, dan tidak pula yang dibayar itu
tidak ikhlas.
Keutamaan ikhlas
Allah SWT memberitahukan kepada kita untuk beribadah
kepadanya dengan penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharapkan
ridha-nya. Allah berfirman :
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus. Dan suapaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS Al. bayyinah
98:5)
“Katakanlah : seseungguhnya
sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk allah, tuhan semesta
alam” (Al-an’am 6:162)
Hanya dengan keikhlasan-lah semua amal beribadah akan diterima oleh
Allah SWT. Rasulullah mengucapkan selamat (Thuba) kepada para mukhlisisn.
Beliau bersabda :
“Selamatlah para mukhlisin.
Yaitu orang-orang yang bila hadir tidak dikenal. Bila tidak hadir dicari-cari.
Mereka pelita hidayah, mereka selalu selamat dari fitnah kegelaan! (HR.
Baihaqi)
Seorang makhluk
hidup tidak akan pernah sombong kalua berhasil tidak putus asa kalau gagal.
Tidak lupa diri menerima pujian dan tidak mundur dengan cacian. Sebab dia hanya
berbuat semata-mata mencari keridha-an Allah SWT, ingat kisah khlalid ibn
walid, snag jendral, panglima perang yang selalu berhasil dalam setiap
peperangan. Karena khalifah umar bin khatab khawair terjaid pengkultusan
terhadap kalaid beliau segera memberhentikanya dari jabatan panglima,m untuk
kemudian menjadi prajurit biasa. Penurunan status secara drastic menurut ukuran
dunia itu sama sekali tidak merubah khlaid. Beliau mengatakan : “saya berperang
bukan karena umar, tapi karena Allah”. Bagi khalid tidak ada bedanya berperang
sebagai jendral dengan sebagai prajurti masing-masing berjuang sesuai dengan
fungsimya dan sama-sama mengharapkan ridha Allah SWT.
Seorang
mukhlish akan selalu bersemangat dalam beramal. Pujian tidak membuat dia
terbuai dan cacian tidak membuat dia mundur. Yang dicarinya hanyalah ridha
allah semata. Tapi seorang yang tidak ikhlas akan cepat terbuai dan lupa diri
bila mendapatkan pujian, dan cepat berputus asa menghadapi segala rintangan
dalam perjuangan.
Riya’ menghapuskan Amalan
Lawan dari
ikhlas adalah riya’. Yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tetapi karena
ingin dipuji atau Karen pamrih lainya. Secara etimologi riya’ berakar dari kata
RA-A, YARA (melihat), ARA-A, YARI-U (memperlihatkan). Misalnya idz
yurikumullahu fi manamika khaliya, ingatlah tatkala Allah memperlihatkan mereka
kepadamu didalam mimpimu … (QS. Al-Anfal 8:43).
Jadi pada asalnya seorang yang riya’ adalah orang yang ingin
memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dilakukanya. Nianya sudah
bergeser, bukan lagi mencari keridaan allah, tapi mengharapkan pujian orang
lain.
Sifat riya’
adalah sifat orang-orang munafiq. Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang munafik itu menipu allah,
dan allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dnegan malas. Mereka bermaksud riya (Dengan Shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut allah kecuali sedikit sekali. (QS.
An-nisa’ 4:142)
“sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan
terjadi pada kalian adalah syirik kecil. Sahabat bertanya : “apakah syirik
kecil itu ya Rasulallah”. Rasulallah menjawab : Riya’ (HR. Ahmad)”
Rasulullah SAW
menamai riya’ dengan syiriik kecil. Dan beliau paling mengkhawatirkan syirik
kecil itu terjadi pada umatnya :
Riya’ atau syirik kecil akan menghapus pahala amalan seseorang.
Dalam sebuah hadist yang panjang Rasulullah SAW menggambarkan bahwa di akhirat
nanti ada beberapa orang yang di cap oleh allah sebagai pendusta, ada yang
mengaku berperang pada jalan allah sebagai mati sahit, padahal dia berperang
hanya karena ingin dikenal sebagai seorang pemberani: ada yang mengaku
mempelajari al-quran karena allah, padahal dia hanya ingin dikenal sebagai
orang alim dan qari, ada yang megaku mendermakan hartanya untuk mencari ridha
allah, padahal dia hanya ingin bisa berdermawan. Amalan semua orang itu ditolak
allah dan mereka dimasukkan kedalam neraka. Dalam sebuah hadist qudsi Allah
berfirman :
“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu,
barangsiapa yang melakukan amalah yang menyekutukan aku dnegan yang lain, maka
aku berlepas diri darinya maka amalannya itu untuk sekutu itu” (Hadist qudsi
Riwayat Muslim)
Dalam surat
al-baqarah ayat 264 dan 265 Allah SWT membantingkan amalan karena riya’ dan
amalan yang ikhlas mencari ridha Allah SWT semata-mata dengan dua perumpamaan.
Pertama, amalan saleh seseorang diumpamakan dengan tanah yang diletakkan kepada
sebuah batu licin. Sedikit demi sedikit tanah itu melekat hingga menutupi seluruh
batu. Lalu datang hujan lebat yang sebentar saja meluruhkan tanah-tanah yang
melekat itu, sehingga batu kembali menjadi licin. Hujan lebat itu perumpamaan
riya’. Kedua, amalan saleh yang dilakukan dengan ikhlas ibarat sebuah kebun
terletak didaratan tnggi yang memnag pada asalnya sudah subur, sehingga apabila
disirami hujan lebat dia akan bertambah subur. Bahkan dnegan hujan gerimispun
dia akan tetap subur. Lengkapnya penulis kutipan kedua ayat tersebut :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah akmu menghilangkan (Pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebut-nya dan menyakiti (Prasaan si penerima)
seperti orang yang emmanfaatkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
satupun dari apa yang mereka usahakan : dan allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang kafir” (QS. Al-baqarah 2:264).
“Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, mereka sebuah kebun yang terletak didataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-nya dua kali lipat. Jika hujan
lebat tidak menyiraminya maka hujan gerimis (Pun memadahi). Dan allah maha
melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-baqarah 2:265).
Seperti yang
sudah diekmukakan sebelumnya bahwa riya’ menyebabkan seseorang tidak tahan
menghadapi tantangan dan hambatan dalam beramal. Dia akan cepat mundur dan
patah semangat apabila ternyata tidak ada yang memujinya. Dia akan cepat
menghabiskan stamina : nafasnya tidak panjang dalam berjuang sebaliknya bila
menerima ujian dan sanjungan ia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua-duanya
jelas merugikanya berbeda dengan orang yang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian
dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya beramal dan berjuang kuat.
Nafasnya panjang, dan lebih dari itu dia diridhai oleh allah SWT.
C.
Tawakkal
Tawakkal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada
selain allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-nya.
Seorang muslim
hanya boleh bertawakkal kepada Allah semata-mata. Allah SWT berfirman :
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di
langit dan di bumi dan kepadaNya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka
sembahlah dia, dan bertaqwalah kepadanya. Dan sekali-kali tuhanmu tidak lalai
dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud 11:123)
Tawakkal adalah
salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman bahwa semua urusan
kehidupan, dan semua manfaat dan mudharat ada ditangan Allah, akan menyerahkan
segala sesuatunya kepada-Nya dan akan ridha dengan segala kehendak-Nya. Dia
tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya
senang dan tentram, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah. Oleh sebab itu
islam menetapkan bahwa iman harus diikuti sikap tawakkal. Allah SWT berfirman :
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al maidah 5:23)
“(Dia-lah) Allah tidak ada tuhan selain dia.
Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja” (QS at taghabun
64:13)
Tawakkal Dan ikhtiar
Tawakkal harus diawali
dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakkal
kalau hanya pasrah menunggu nasib sambal berpangku tangan tanpa melakukan
apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman
terhadap hakikat tawakkal. Syaikh Muhammad Ahmad Arif, dalam salah satu
khutbahnya di masjid al Azhar cairo menceritakan bagaimana kesalahpahaman
terjadi pada masa imam ahmad ibn hambali. Ada seorang yang malas bekerja dan
masa bodoh. Letika beliau bertanya mengenai sikapnya itu, ia menjawab : “Saya telah
membaca hadist Rasulullah SAW yang mengatakan :
“Jika saja kamu sekalian bertawakkal kepada
allah dengan sepenuh hati, niscaya allah akan memberi rezeki untukmu sekalian,
sebagaimana ia memberinya kepada burung : burung itu pergi dalam keadaan lapar
dan pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi dan ibnu Majah).
Maka sebab itu saya bertawakkal kepada zat yang memberi rezeki
kepada burung itu”.
Imam Ahmad lalu
mengatakan “KAmu belum mengerti maksud hadist tersebut. Rasulullah menyebutkan
bahwa pulang perginya burung itu justru dalam rangka mencari rezeki. Jika
burung itu duduk saja disarangnya, tentulah rizkinya tidak akan datang”.
Kesalahpahaman
yang sama juga terjadi pada masa Rasulullah SAW. Seorang badui membiarkan
untanya tidak diikat karena menurut dia
itulah cerminan sikap tawakkal. Rasulullahpun menegurnya :
“Ikutlah dan Tawakkalah” (HR. Tarmidzi, Ibnu
Khuzaimah, dan thabrani).
Rasulullah dan
kaum muslimin generasi awal telah memberikan contoh bagaimana seharusnya
memahami tawakkal. Mereka adalah para pekerja kerasa dalam berbagai lapangan
kehidupan; perdagangan, pertanian, perindustrian, keilmuan, dan lain
sebagainya. Rasulullah SAW mendorong umatnya berekja keras. Beliau selalu
berdoa agar dijauhkan dari sifat-sifat lemah dan malas.
Islam
memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hokum sebab
dan akibat. Usaha harus selalu dilakukan. Perhatikan, dalam situasi perang,
sewaktu shalatpun kaum muslimin tidak boleh meninggalkan senjata. Allah
berfirmah :
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereha (sahabatmu) lalu kamu hendsk mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (Untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah
mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya allah telah
menyediakan azab bagi yang menghinakan orang-orang kafir itu. (WS. An-nisa’
4:102).
Oleh sebab itu
Allah memerintahkan umat islam untuk tetap selalu waspada, tidak lalai atau
acuh tak acuh :
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap
siagalah kamu, dan majulah (Ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau
majulah bersama-sama!” (QS. An nisa’ 4:71)
RAsulullah SAW
juga mengajarkan bagaimana kita harus berusaha melakukan tindakan preventif untuk
menghindari bahaya dan penyakit. Beliau bersabda :
“Apabila kamu mendengar ada wabah penyakit
disuatu daerah, maka janganlah kamu memasuki daerah itu. Dan apabila wabah itu
sedang terjangkit didaerah kamu berada, maka janganlah kamu keluar dari daerah
itu” (HR. Bukhari)
“Matikan lampu-lampu diwaktu malam sebelum
kamu tidur. Ikatlah pundi-pundi air dan tutuplah makan dan minuman” (HR.
Bukhari)
Jangan bertawakkal kepada
ikhtiar
Sekalipun kita
disurug untuk berikhtiar sebelum bertawakkal, disuruh mengikuti kumu sebab
akinat, tetapi kita tidak boleh bertawakkal kepada ikhtiar. Sebab akibat memang
sunnatullah. Belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu. Berobat adalah sebab
untuk sehat. Tetapi bykanlah sebab semata-mata yang emnimbulkan akibat. Kadangkala
ada sebab tapi tidak ada akibat. Seperti dua orang pasien dirumah sakit;
penyakitnya sama, dokternya sama, obatnya sama, tapi yang satu meninggal dan
yang satu hidup. Adakala para petani mengolah pertanianya dengan alat modern,
dengan bibit yang paling bagus, pakai pupuk yang paling ampuh, datang musim
dingin, musim panas, atau ekkeringan atau air bah, hancur semuanya.
Sekalipun bukan
sebab saja yang menimbulkan akibat, tetapi sebbab tidak boleh pula dilupakan.
Yang disuruh oleh syara’ dan sesuai dengan akal adalah mengusahakan sebab, dan
menyerahkan hasilnya pada allah. Usaha tanpa pertolongan allah Sia-sia. Oleh
sebab itu seorang muslim tidak menggantungkan diri pada ikhtiar (Tanpa
memasrahkannya kepada Allah), karena sikap seperti itu akan mendatangkan
kesombongan. Kaum muslimin pernah mendapatkan pelajaran yang berharga waktu
perang Hunain. Mereka bangga dnegan jumlah pasukan yang banyak, Akhirnya
mengalami kekalahan. Tentang hal ini allah menggambarkan dalam al-qur’an :
“Sesungguhnya Allah telah mnolong kamu (Hai
para mukminin) dimedan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain,
yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (Mu), maka jumlah
yang banyak itu tidak akan memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang
luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari dari belakang dengan
bercerai-berai. (QS. At Taubah 9:25)
Demikianlah,
ikhtiar diperintahakn, tapi tidak boleh tawakkal kepada ikhtiar. Disinilah
bedanya seorang muslim dan seorang kafri. Kedua-duanya sama-sama berikhtiar,
tapi yang pertama bertawakkal kepada allah SWT, sedangkan ayng kedua
bertawakkal kepada ikhtiarnya.
Hikmah Tawakkal
Sikap tawakkal
sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin. Sebab apabila
seorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu;
mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat penecanaan dnegan sangat cermat dan
detail melaksanakanya dengan penuh disiplin, dan melakukan pengawasan dengan
ketat; kalau kemudian masij mengalami kegagalan, dia tidak akan berputus asa.
Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari allah SWR yang harus dihadapi
dengan sabar. Sebaliknya jika berhasil dengan baik, dia bersyukur kepada Allah
SWT, tidak sombong dan membanggakan diri, karena dia yakin semua usahanya tidak
akan berhasil tanpa izin dari Allah SWT. Dnegan demikian, semua situasi
dihadapinya dengan tenang. Bila gagal, bersabar, bila berhasil bersyukur.
Bandingkan dengan seorang yang tidak memiliki konsep tawakkal dalam
kehidupanya. Kegagalan bis amembuatnya setres dan putus asa, sementara
keberhasilanya juga bisa membuatnya sombong dan lupa diri.
Disamping itu
sikap tawakkal juga memberikan kesenangan dan kepercyaan diri kepada seseorang
untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi masa depan dengan segala
kemungkinanya tanpa rasa takut dan cemas. Yang penting berusaha sekuat tenaga,
hasilnya Allah yang menentykan. Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap
tawakkal. Emmbayangkan persaingan kehidupan yang semakin keras pada masa yang
akan datang, emmbayangkan bermacam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan
manusia dan hal-hal yang menakutkan, emnyebabkan dia cemas dan gelisah. Yang
tentu juga akan mempengaruhi kesehatan fisiknya.
Dan yang lebih
pentig lagi orang yang bertawakkal akan dilindungi oleh Allah SWT. Allah
berfirman :
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya allah akan mencukupkan
(Keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At
Thalaq 65:3)
D.
Taubat
Taubat berakar dari kata taba yang berarti
kembali. Oramg yang bertaubat kepada Allah adalah orang-orang yang kembali dari
sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat
yang terpuji, kembali dari larangan allah menuju perintah-Nya, kembali dari
maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang
diridhainya, kembali dari apa yang saling bertentangan menuju yang saling
menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalkanya dan kembali taat
setelah menentangnya.
Searti
dengan kata Taba adalah anaba atau aba. Orang yang bertaubat karena takut adzab
allah disebut Taib (Isim fa’il dari faba), bila karena amal disebut munib (Isim
fa’il dari anaba), dan bila karena mengagungkan allah SWT disebut Awwab.
Apabila seorang muslim melakukan kesalahan
atas kemaksiatan dia wajib segera bertaubat kepada Allah SWT. Yang dimaksud
dengan kesalahan atau kemaksiatan disni adalah semua peruatan yang melanggar
ketentuan syari’at islam. Baik dalam bentuk emninggalkan kewajiban atau
melanggar larangan, baik termasuk Shaghair (Dosa kecil) atau kabair (Dosa
besar), Allah SWT berfirman :
“Dan bertaubatlah kamu
saklain kepada Allah, Haiorang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS.
An Nur 24:31)
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dnegan Taubatan Nasuha (Taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam Jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, ….” (QS.
At Tahrim 66:8)
Kenapa harus
segera bertaubat ? sebagian orang merencanakan bertaubat setlah umur agak
lanjut, atau setelah merasa puas memperuntukkan hawa nafsu dimasa mudanya.
Rencana seperti ini sangat spekulatif karena tidak seorangpun dapat menjamin
berumur panjang. Kalau seorang berencana untuk bertaubat setelah berumur 40
tahun misalnya, bagaimana kalau umur 39 tahun ia meninggal sunia. Setiap orang
pasti mati. Dan kematian itu misteri. Tidak seorangpun yang dapat mengetahui
kapan datanya. Oleh karena itu seorang muslim harus menyadari bahwa ia telah
berbuat kesalahan atau kemaksiatan dia harus segera bertaubat kepada Allah SWT
tanpa menunda-nundaya. bahkan seorang muslim dianjurkan untuk selalu bertaubat
kepada Allah sekalipun sia tidak mengetahui kesalahanya. Boleh jadi, tapa
disadarinya dia telah melakukan kesalahan. Disamping memerintahkan kepada
umatnya untuk bertaubat, Rasulullah SAW menyatakan bertaubat sampai serratus kali,
beliau bersabda :
“Hai manusia, bertaubat dan minta ampunlah
kamu kepda SAW, karena sesungguhnya saya bertaubat serratus kali dalam sehari…”
(HR. Muslim)
Kita tahu
rasulullah adalah sebaik-baik manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Beliau
tidka meninggalkan perintah SAW dan tidak pula pernah melanggar Laranganya.
Apalagi kita. Mestinya lebih banyak lagi minta ampun kepada allah SWT.
Manusia tidak
akan luput dari kesalahan. Tapi sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah
yang bertaubat. Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap manusia (dapat berbuat) salah. Dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat” (HR. Tirmidzi,
ibnu Majah dan Hakim)
Tak ada istilah terlambat
untuk bertaubat
Allah SWT maha
penerima taubat, SAW pasti mengampuninya. Tidak ada istilah terlambat untuk
kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalau nyawa sudah berada di tenggorokan
atau matahari sudah terbit dari barat, pintu taubat emmang sudah tertutup.
Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya
pada waktu malan supaya bertaubat oranf yang berbuat salah siang hari. Dan dia
membentangkan tangan-Nya pada siang hari supaya bertaubat orang yang berbuat
salah pada malam hari. Keadaan it uterus hingga matahari terbit dari barat”
(HR. Muslim)
“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat
seseorang hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan” (HR. Tirmidzi)
Dalam sebuah
hadist yang panjang riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menceritakan
bagaimana Allah tetap menerima taubat seseorang yang telah membunuh serratus
orang apabila ia benar-benar bertaubat kepada Allah SWT. Dikisahkan bahwa
laki-laki itu ingin bertaubat setelah membunuh 99 Orang. Tatkala ditanyakan
kepada seorang Rahib –orang yang bijaksana- apakah taubatnya masih mungkin
diterima, sang rahib menjawab tidak. Rahib tadi dibunuhnya hingga demikian dia
telah genap membunuh 100 orang. Waktu ditanyakan kepada seorang alim –yang
bijaksana- dia menjawab tentu bisa. Sebab siapakah yang dapat menghalanginya
untuk bertaubat ? lalu seoarng alim tadi menyuruhnya pergi ke negeri lain
bergabung dengan masyarakat disana yang taat-taat. Jangan kembali pada
lingkunganmu yang penuh kemaksiatan. Dalam hadist itu dikisahkan bahwa
taubatnya diterima Oleh Allah SWT sekalipun dalam perjalanan menuju masyarakat
yang taat itu dia meninggal dunia.
Dalan satu hadit Qudsi Allah SWT berfirman :
“Allah ta’ala berfirmsn : “Wahai bani ada,
sesungguhnya selama engkau berdoa dan mengharap kepadaku, niscaya aku ampuni dosa-dosamu,
dan aku tiada akan perduli. Wahai bani adam, jika sekiranya dosa dan
kesalahanmu setinggi awan, lalu engkau memohon ampun kepadaku, niscaya aku
ampuni. Wahai bani adam, andai engkau datang kepadaku dnegan membawa dosa
sebanyak isi bumi kemudian engkau mati dalam keadaan tidak menyekutukan aku
dengan suatu apapun, niscaya aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan
seisi bumi pula” (HR. Tirmidzi)
Jadi jelaslah
bagi kita bahwa tidak ada dosa yang tidak terampuni kalau kita minta ampunan
kepada Allah SWT, dan tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa
sampai di tenggorokan. Oelh sebab itu bersegeralah bertaubat sebelum maut
datang menjemput yang entah kapan.
Lima Dimensi Taubat
Taubat yang sempurna memenuhi 5 dimensi
1.
Menyadari Kesalahan
Karena
seseorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidka menyadari kesalahanya atau
tidak merasa bersalah. Disinilah perlunya seorang muslim mempelajari agama
islam, terutama tentang perintah-perintah yang wajib diikutinya dan
larangan-larangan yang wajib di tinggalkanya. Dan disini pulalah pentingnya
saling ingat mengingatkan sesame muslim.
2.
Memohon ampunan kepada Allah
SWT.
Sekalipun seseorang
tahu bahwa dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah melakukanya maka orang
tadi belumlah dikatakan bertaubat. Apalagi kalau dia bangga dengan kesalahanya
itu. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Menyesal itu adalah taubat” (HR. Abu daud dan Hakim)
3.
Berjanji tidak akan
mengulanginya
Dengan keyakinan
atau husn adz-zhan bahwa Allah SWT akan emngampuninya. Semakin banyak dan
sering seseorang mengucapakan istighfar kepada Allah SWT semakin baik. Di atas
sudah disebutkan hadist yang menyatakan bahwa sekalipun Rasulullah SAW tidak
melakukan kesalahan atau kemaksiatan tapi belaiu tetap banyak istighfat, bahkan
sampai serratus kali sehari. Rasulullah bersabda :
“Tidak ada dosa yang besar dengan istighfar, dan tidak ada dosa yang
kecil kalau diulang-ulang” (HR. Thabrani)
4.
Menutupi Kesalahan masa lalu
dengan amal shaleh
Untuk membuktikan
bahwa dia benar-benar telah bertaubat. Tentang hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan sesungguhnya akum aha
pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian
tetap dijalan yang benar” (QS. Thaha 20:82)
Kebaikan
yang dilakukan setelah bertaubat akan menghapus keburukanya pada masa yang
lalu. Rasulullah SAW bersabda :
“Bertaqwalah kamu kepda SAW
dimanapun kamu erada, dan iringilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, maka
kebaikan itu akan menghapuskanya, dan pergaulilah manusia dnegan akhlaq yang
baik” (HR. tarmidzi)
Dalam
hadist lain Rasulullah SAW memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan
menghapuskan keburukan :
“perumpamaan orang yang
mengerjakan perbuatan buruk kemudian mengerjakan perbuatan baik adalah seperti
seoarng yang terbelenggu oleh ranta-rantai lalu dia melakukan kebaikan, maka
terlepaslah rantai satu ikatanya, kemudian dia melakukan kebaikan lagi, maka
terlepaslah dia dari rantai lainya sampai ia benar-benar terlepas” (HR. Ahmad
dan Thabrani).
Taubat yang memenuhi 5 dimensi diataslah yang disebut dengan
taubat yang sempurna atau dalam Bahasa al-quran disebut taubatan nashuha (QS.
At tahrim 66:8)
Komentar
Posting Komentar