MAKALAH AKHLAK KEPADA ALLAH



MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AKHLAK KEPADA ALLAH



 



OLEH :

1.      Siska Anggraeni (16612019)
2.      Nur Eka Risqiani (16612036)


PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2016





KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena rahmatNya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama Islam ini tentang Akhlak kepada Allah tepat pada waktunya. Tujuan pembuatan Makalah ini adalah untuk memenuhi nilai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan , petunjuk serta bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak In’am selaku dosen Pengampu mata kuliah ini. atas bimbingan dari beliau kami bisa membuat suatu makalah Pendidikan Agama Islam ini tentang Akhlak kepada Allah, serta pihak-pihak yang telah mendukung pembuatan makalah kami.

            Kami menyadari bahwa Makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Semoga Makalh Fisika tentang Penjelasan Momentum Gaya ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua orang yang membacanya, khususnya Mahasiswa Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Gresik.






                                                                        Penyusun


 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kata akhlak berasal dari kata bahasa arab, yaitu “khuluq” yang artinya budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat, dan dapat kita ketahui bahwa akhlak sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam pada jiwanya. Sedangkan menurut istilah, akhlak ialah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan tanpa berpikir dan di renungi lagi.
Dengan demikian akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada diri manusia, sehingga manusia dapat melakukan tanpa berpikir, akhlak dikenal juga dengan istilah moral dan etika. Moral yang berati adat atau kebiasaan, moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk di terima umum atau masyrakat, karena adat istiadat dalam satu masyarakat merupakan standar menentukan baik dan buruknya.
Sedangkan akhlak kepada Allah dapat di artikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebgai makhluknya. Sehingga akhlak kepada allah dapat di artikan segala sikap atau pebuatan manusia yang di lakukan tanpa berfikir lagi yang memang ada pada diri manusia sebagai mamba Allah SWT.
1.2  Rumusan Masalah
A.      Apa yang dimaksud dengan Taqwa ?
B.      Apa yang dimaksud dengan Ikhlas ?
C.      Apa yang dimaksud dengan Tawakkal ?
D.     Apa yang dimaksud dengan taubat ?
1.3  Tujuan pembelajaran
a.      Mengetahui tentang Taqwa
b.      Mengetahui tentang Ikhlas
c.       Mengetahui tentang Tawakkal
BAB II
LANDASAN TEORI
A.      Taqwa
Definisi taqwa yang paling popular adalah “memelihara dari siksaan Allah dengan mangikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya” atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala Larangan-Nya (imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahih)”.
                Afif ‘abd Al Fatah Thabbarah dalam bukunya Ruh adalah Din al Islami mendefinisikan taqwa dengan “Seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang kemarahan tuhanya dan dari segala sesuatu uang mendatangkan mudharat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain”.
                Lebih lanjut Thabbarah mengatakan bahwa makna asal dari taqwa adalah pemeliharaan diri. Diri tidak perlu memelihara kecualu terhadap apa yang dia takuti. Yang paling dia takuti adalah  Allah SWT. Rasa takut memerlukan ilmu terhadap yang ditakuti. Oelh sebab itu yang berilmu tentang allah akan takut kepada-Nya, yang takut kepada allah akan betaqwa kepada-Nya. Muttaqin adalah orang-orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan allah didunia dan akhirat dengan cara berhenti dari garis batas yang telah ditentukan, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan Allah tidak memerintahkan kecuali yang baik untuk manusia. Dan tidak melarang kecuali yang memberi mudharat kepada mereka.
                Kalua boleh kita membuat perumpamaan, hidup bertaqwa di dunia ibarat berjalan ditengah rimba belantara. Seseorang akan berjalan didalam rimba dengan sangat hati-hati. Dia awas terhadap lobang supaya tidak terperosok ke dalamnya, awas terhadap duri supaya tidak melukai kulitnya, dana was terhadap binatang buas supaya tidak menerkamnya. Seorang yang bertaqwa akan berhati-hati sekali menjaga perintah allah, supaya dia tidak meninggalkanya. Hati-hati menjaga larangan allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat selamat hidup di dunia dan akhirat.




Hakikat Taqwa
                Bila ajaran islam dibagi menjadi Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah intelegasi ketiga dimensi tersebut. Mari kita lihat ayat berikut ini :

“Bukanlah menghadapkan wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab allah, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, emndirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (Imanynya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS. Albaqarah 2:177)

“Kitab al-quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Al-baqarah 2:2-4)

“adakah kamu hadir ketika ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya : “apa yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab : “kami akan menyembah tuhanmu dan tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, ismail, dan ishaq, (yaitu) Tuhan yang MAha Esa dan kami hanya tuduk padanya”. Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakanya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata : “hendaklah kamu menjadi penganut agama yahuni atau nasrani, niscaya kamu mendapatkan petunjuk”. Katakanlah “Tidak, melainkan (Kami megikuti) agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan yang musyrik”. (QS Ali Imran 3:133-135)

                Dalam surat al baqarah aya 177 diatas bahwa allah SWT mendefinisikan al birru dnegan iman (Beriman kepada Allah, Hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi), islam (Mendirikan shalat, dan menunaikan zakat) dan ihsan (mendermakan harta yang dicintainya, emnepati janji, dna sabar). Setelah disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari iman, islam, dan ihsan itu lalu allah menutupnya dengan kalimat “Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Dengan demikian dapat kita fahami bahwa dalam ayat tersebut taqwa dicirikan dengan iman, islam dan ihsan sekaligus.
                Dalam surat albaqarah 3-4 diatas disebutkan 4 kriteria orang yang bertaqwa, yaitu : (1) Beriman kepada yang ghaib, (2) mendirikan shalat, (3) menafkahkan sebagian dari rezeki yang diterimanya dari allah, (4) beriman dengan kitab suci alquran dan kitab-kitab suci sebelumnya dan (5) beriman dengan hari akhir. Dalam dua ayat ini maka taqwa dicirikan dengan iman, islam dan ihsan.
                Sementara itu dalam surat ali Imran ayat 134-135 disebutkan empat diantara ciri-ciri orany yang bertaqwa yaiu : (1) Dermawan (menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit, (2) mampu menahan marah, (3) pemaaf, (4) istighfar dan taubat dari kesalahan-kesalahanya. Dalam dua ayat ini taqwa dicirikan dengan aspek ihsan.
                Dari beberapa ayat yang dikutip diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hakikat taqwa adalah memadukan secara integral aspek iman, islam dan ihsan dalam diri seseorang. Dengan demikian orang yang bertaqwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi mukmin, muslim, dan muhsin.

Bertaqwa Secara maksimal
Dalamsurat ali Imran ayat 102 Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa kepadanya dengan maksimal , yaitu : dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki. Firmanya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada allah sebenar-benarnya taqwa kepadanya; dan janganlah sekali-kali kamu mato melainkan dalam keadaan beragama islam. (QS Ali Imran 3:102).

Dalam ayat ini juga telah dijelaskan oleh Allah SWT cara bertaqwa secara maksimal yaitu dengan melakukan Islamisasi seluruh aspek dan ruang lingkup kehidupan (Islamiyah Hayah), karena bagaimana mungkin seorang dapat mati sebagai muslim kalua dia tidak selalu menjadi muslim sepanjang hidupnya.
Sejalan dengan ayat diatas Rasulullah SAW bersabda :
“Bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dimanapun kamu berada …” (HR. Tirmizi)

                Siapa saja, diaman saja, kapan saja, dalam situasi bagaimanapun wajib bertaqwa kepada allah SWT.
                Kualitas ketaqwaan seseorang menentukan tingkat kemuliaanya disisi Allah SWT. Semakin maksimal taqwanya semakin mulia dia. Dalam hal ini Allah berfirman :

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (QS. Al hujurat 49:13)

“Sesungguhnya seutama-utamanya manusia denganku adalah orang-orang yamg bertaqwa, siapapun dan bagaimanapun keadaan mereka” (HR. Ahmad).

Buah dari Taqwa
                Seseorang yang bertaqwa kepada allah SWT akan memetic buahnya, baik didunia maupun di akhirat. Buah itu antara lain :
1.       Mendapat sifat Furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasulnya, dan janganlah kamu berpaling daripadanya, sedang kamu mendengar (Perintah-perintah-Nya). (QS. Al anfal 8:20)
2.       Mendapat limpahan berkah dari langit dan bumi
“jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakanya (Ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatanya” (QS. Al A’raf 7:96).
3.       Mendapatkan Jalan keluar dari kesulitan
“Barangsiapa bertaqwa kepada allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. At-thalaq 65:2)

4.       Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya dan barangsiapa yang bertawakkal kepada allah niscaya allah akan mencukupkan (Keperluan)nya. Sesungguhnya allah melaksanakan urusan yang (Dikehendaki)Nya. Sesungguhnya allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq 65:3)
5.       Mendapatkan kemudahan dalam Urusanya
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusanya. (QS. At Thalaq 65:4)
6.       Menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami akan memberikan kepadamu Furqaan, dan kami akan jauhkan dirimi dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (Dosa-dosa)mu. Dan allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al Anfal 8:29)

“Inilah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertaqwa kepada allah, niscaya dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS. At thalaq 65:5)
Lima buah yang pertama dirasakannya di dunia dan yang terakhir di akhirat. Semua merupakan wujud dari hasanah fi ad-dunya dan hasana fil akhirah yang menjadi dambaan setiap insan mukmin.
B.      Ikhlas
Secara estimologi ikhlash (Bahasa Arab) berakar dari kata Khalasha dengan arti bersih, jernih, murni; tidak bercampur. Misalnya ma’u khalish artinya air bening atau putih; tidak tercampur dengan kopi, the, sirup, atau zat-zat lainya. Setelah dibentuk menjadi ikhlas (Mashdar dari fi’il madhi khalasha) berarti membersihkan atau memurnikan.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Sayyid sabiq mendefinisikan sebagai berikut :
“Seseorang berkata, beramal dsn berjihad mencari ridha allah SWt, tanpa mempertimbangkan harta, pangkat, nama, popularitas, kemajuan atau kemunduran, supaya dia dapat memperbaiki kelemahan-kelembahan amal dan kerendahan akhlaqnya serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT”.
Dalam Bahasa populernya ikhlas adalah suatu perbuatan yang tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha allah SWT. Tapi dari penegrtian seperti itu kemudian muncul pertanyaan, apakah mengerjakan sesuatu dengan imbalan tertentu (Imbalan, Pangkat, Status dan lain-lain) berarti tidak ikhlas ? jika jawabnya “ya”, apakah bererti Guru, Dokter, Dosen , Da’I dan profesi lain yang menerima imbalan dianggap tidak ikhlas ? apalagi pedagang yang memang sengaja mencari keuntungan tentu juga tidak akan pernah kita katakana ikhlas berdagang. Dalam menjawa pertanyaan tersebut, ada yang mencoba membagi amalan kedalam dua klasifikasi. Pertama, amal dunia dan yang kedua amal akhirat. Untuk yang duniawi boleh meminta imbalan materi sedangkan yang akhirat tidak boleh.
Persoalan barupun muncul seiring dengan terdefinisnya Amalan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu dibawah ini akan dijelaskan kriteria keikhalasan tersebut.
Tiga unsur keihkalasan
Menurut hemat penulis persoalan ikhlas itu tidak ditentukan oleh adaatau tidak adanya imbalan materi, seperti ditentukan oleh tiga faktor :
1.       Niat yang ikhlas (Ikhlash an niyah)
Dalam islam faktor niat sangat penting. Apa saja yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasaekan dnegan niat untuk mencari ridha allah SWT (Lillahi Rabbil Alamin), bukan berdasarkan motivasi lain. Dikisahkan bahwa seorang laki-laki hijrah ke madina bukan mencari Ridha Allah SWT, tapi karena ingin menikahi Umu Qais. Semula laki-laki itu sudah berketetapan untuk menetap di mekkah, tidak ikut hijrah bersama Rasulullah SAW dan kaum muslimin lainya. Tapi karena umu Qais –Calon istrinya- yang sudah mantap untuk ikut hijrah, mengajukan syarat, bahwa dia baru bersedia dinikahi di Madinah. Maka dnegan motivasi tersebut laki-laki tadi berhijrah. Ketika ditanya oleh para sahabt kepada rasulullah SAW apakah hijrah seperti itu diterima disisi Allah SWT:

“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memeperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrah pada jalan allah dan Rasulnya, maka hijrah-nya itu ialah kepada allah dan rasulnya. Barangsiapa yang hijrah karena ingin memperoleh keduniaan, atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya ialah kearah yang ditujunya itu” (HR. Bukhari dan Muslim)

                Laki-laki itu kemudian dikenal dengan sebutan muhajir ummi qais. .
Faktor niat memang sangat menentukan diterima tidaknya amalan seseorang disisi allah SWT. Betapapun secera lahir amalanya baik, tapi kalua niatnya bukan karena allah SWT, maka amalanya tidak diterima, sia-sia.
Rasulullah menegasakan :
     “Sesungguhnya allah tidak memandang bentuk tubuh dan rupamu, tapi memandang hatimu” (HR. Muslim)

2.       Beramal dengan sebaik-baiknya (itqan al amal)
Niat yang ikhlas harus diikiti dengan amal yang sebaik-aiknya. Seorang muslim yang mengaku ikhlas melakukan perbuatan itu sebaik-baiknya. Dia lakukan dengan etos kerja dan profesionalitas yang tinggi. Tidak boleh sembarangan asal jadi, apalagi acak-acakan. Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitanya dengan honor atau imbalan materi. Sungguh keliru, kalua ada yang memahami bahwa apabila dia bekerja tidsk mendapatkan honor, maka dia boleh berekja seenaknya atau sesuka hatinya, tanpa memperhatikan kualitas kerja. Sebaliknya kalua dia mendpaatkan honor dia akn bekerja sebaik-baiknya dan merasa bersalah kalua tidak dapat melakukan tugas dnegan baik. Fenomena ini sering sekali terjadi dan dapat kita lihat misalnya dalam organisasi massa islam. Seseorang yang dipercaya menjadi pengurus suatu ormas tidak merasa ersalah apa-apa kalua tidak aktif, atau kalua aktif hanya memanfaatkan sisa-sisa waktnya . karena dalam presepsinya, tidak aktif fi ormas yang tanpa honor itu sah-sah saja, walaupun dia dipecaya sebagai penerusnya. Berbeda dengan kalua dia mendapat gaji, maka ia akan berusaha aktif dan penuh disiplin.
                Sehubungan dengan itqan al amal ini rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT menyukai, bila seseorang beramal, dia melakukanua dengan sebaik-baiknya…”(HR. Baihaqi)



3.       Pemanfaatan usaha dengan tepat (Jaudah al ada)
Unsur ketiga dari keikhlasan menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh misalnya menuntut ilmu. Setelah seorang muslim berhasil melalui tahap keikhlasan, yaitu niat ikhlas karena allah dan belajar dengan rajin, tekun dan disiplin, maka setelah hasil mendapatkan ilmu itu, yang ditandai dengan keberhasilanya meraih gelar kesarjanaan, bagaimana dia memanfaatkan ilmu kesarjanaanya dengan tepat. Apakah dia memanfaatkan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri (sekedar cari uang dan kedudukan atau bersenang-senang secara materi) atau dimanfaatkan juga untuk kepentingan islam atau umat islam secara khusus dan kepentingan umat manusia secara umum ? apakah dia memanfaatkan ilmunya pada jalan yang halal atau yang haram ? semuanya itu menentukan keikhlasanya. Contoh lain pedagang. Setealh dia luruskan motivasinya dan berusaha secara professional, lalu setelah berhasil mendapatkan kekayaanya, untuk kekayaan itu dimanfaatkan ? apaakah hanya sekedar untuk memuaskan hawa nafsunya untuk kepentingan lain yang lebih mulia ? apakah dia belanjakan harta bendanya untuk kebaikan atau kemaksiatan ? hal-hal inilah yang menentukan keikhlasanya.
Dari uraian diatas jelaskan bagi kita bahwa ikhlas atau tidak seseorang beramal tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya imbalan materi yang dia dapat, tapi ditentukan oleh niat, kualitas amal pemanfaatan hasil. Atau dengan kata lain tidak setiap yang gratis itu otomatis ikhlas, dan tidak pula yang dibayar itu tidak ikhlas.

Keutamaan ikhlas
                Allah SWT memberitahukan kepada kita untuk beribadah kepadanya dengan penuh keikhlasan dan beramal semata-mata mengharapkan ridha-nya. Allah berfirman :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. Dan suapaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS Al. bayyinah 98:5)

“Katakanlah : seseungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk allah, tuhan semesta alam” (Al-an’am 6:162)
Hanya dengan keikhlasan-lah semua amal beribadah akan diterima oleh Allah SWT. Rasulullah mengucapkan selamat (Thuba) kepada para mukhlisisn. Beliau bersabda :

“Selamatlah para mukhlisin. Yaitu orang-orang yang bila hadir tidak dikenal. Bila tidak hadir dicari-cari. Mereka pelita hidayah, mereka selalu selamat dari fitnah kegelaan! (HR. Baihaqi)

                Seorang makhluk hidup tidak akan pernah sombong kalua berhasil tidak putus asa kalau gagal. Tidak lupa diri menerima pujian dan tidak mundur dengan cacian. Sebab dia hanya berbuat semata-mata mencari keridha-an Allah SWT, ingat kisah khlalid ibn walid, snag jendral, panglima perang yang selalu berhasil dalam setiap peperangan. Karena khalifah umar bin khatab khawair terjaid pengkultusan terhadap kalaid beliau segera memberhentikanya dari jabatan panglima,m untuk kemudian menjadi prajurit biasa. Penurunan status secara drastic menurut ukuran dunia itu sama sekali tidak merubah khlaid. Beliau mengatakan : “saya berperang bukan karena umar, tapi karena Allah”. Bagi khalid tidak ada bedanya berperang sebagai jendral dengan sebagai prajurti masing-masing berjuang sesuai dengan fungsimya dan sama-sama mengharapkan ridha Allah SWT.
                Seorang mukhlish akan selalu bersemangat dalam beramal. Pujian tidak membuat dia terbuai dan cacian tidak membuat dia mundur. Yang dicarinya hanyalah ridha allah semata. Tapi seorang yang tidak ikhlas akan cepat terbuai dan lupa diri bila mendapatkan pujian, dan cepat berputus asa menghadapi segala rintangan dalam perjuangan.

Riya’ menghapuskan Amalan
                Lawan dari ikhlas adalah riya’. Yaitu melakukan sesuatu bukan karena Allah, tetapi karena ingin dipuji atau Karen pamrih lainya. Secara etimologi riya’ berakar dari kata RA-A, YARA (melihat), ARA-A, YARI-U (memperlihatkan). Misalnya idz yurikumullahu fi manamika khaliya, ingatlah tatkala Allah memperlihatkan mereka kepadamu didalam mimpimu … (QS. Al-Anfal 8:43).
Jadi pada asalnya seorang yang riya’ adalah orang yang ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dilakukanya. Nianya sudah bergeser, bukan lagi mencari keridaan allah, tapi mengharapkan pujian orang lain.
                Sifat riya’ adalah sifat orang-orang munafiq. Allah berfirman :
 “Sesungguhnya orang munafik itu menipu allah, dan allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dnegan malas. Mereka bermaksud riya (Dengan Shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-nisa’ 4:142)

 “sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil. Sahabat bertanya : “apakah syirik kecil itu ya Rasulallah”. Rasulallah menjawab : Riya’ (HR. Ahmad)”
                Rasulullah SAW menamai riya’ dengan syiriik kecil. Dan beliau paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada umatnya :

Riya’ atau syirik kecil akan menghapus pahala amalan seseorang. Dalam sebuah hadist yang panjang Rasulullah SAW menggambarkan bahwa di akhirat nanti ada beberapa orang yang di cap oleh allah sebagai pendusta, ada yang mengaku berperang pada jalan allah sebagai mati sahit, padahal dia berperang hanya karena ingin dikenal sebagai seorang pemberani: ada yang mengaku mempelajari al-quran karena allah, padahal dia hanya ingin dikenal sebagai orang alim dan qari, ada yang megaku mendermakan hartanya untuk mencari ridha allah, padahal dia hanya ingin bisa berdermawan. Amalan semua orang itu ditolak allah dan mereka dimasukkan kedalam neraka. Dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman :

 “Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa yang melakukan amalah yang menyekutukan aku dnegan yang lain, maka aku berlepas diri darinya maka amalannya itu untuk sekutu itu” (Hadist qudsi Riwayat Muslim)

                Dalam surat al-baqarah ayat 264 dan 265 Allah SWT membantingkan amalan karena riya’ dan amalan yang ikhlas mencari ridha Allah SWT semata-mata dengan dua perumpamaan. Pertama, amalan saleh seseorang diumpamakan dengan tanah yang diletakkan kepada sebuah batu licin. Sedikit demi sedikit tanah itu melekat hingga menutupi seluruh batu. Lalu datang hujan lebat yang sebentar saja meluruhkan tanah-tanah yang melekat itu, sehingga batu kembali menjadi licin. Hujan lebat itu perumpamaan riya’. Kedua, amalan saleh yang dilakukan dengan ikhlas ibarat sebuah kebun terletak didaratan tnggi yang memnag pada asalnya sudah subur, sehingga apabila disirami hujan lebat dia akan bertambah subur. Bahkan dnegan hujan gerimispun dia akan tetap subur. Lengkapnya penulis kutipan kedua ayat tersebut :

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah akmu menghilangkan (Pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut-nya dan menyakiti (Prasaan si penerima) seperti orang yang emmanfaatkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). Mereka tidak menguasai satupun dari apa yang mereka usahakan : dan allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir” (QS. Al-baqarah 2:264).

 “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, mereka sebuah kebun yang terletak didataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-nya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya maka hujan gerimis (Pun memadahi). Dan allah maha melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-baqarah 2:265).

                Seperti yang sudah diekmukakan sebelumnya bahwa riya’ menyebabkan seseorang tidak tahan menghadapi tantangan dan hambatan dalam beramal. Dia akan cepat mundur dan patah semangat apabila ternyata tidak ada yang memujinya. Dia akan cepat menghabiskan stamina : nafasnya tidak panjang dalam berjuang sebaliknya bila menerima ujian dan sanjungan ia akan cepat sombong dan lupa diri. Kedua-duanya jelas merugikanya berbeda dengan orang yang ikhlas, tidak terbuai dengan pujian dan tidak patah semangat dengan kritikan. Staminanya beramal dan berjuang kuat. Nafasnya panjang, dan lebih dari itu dia diridhai oleh allah SWT.

C.      Tawakkal
Tawakkal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-nya.
                Seorang muslim hanya boleh bertawakkal kepada Allah semata-mata. Allah SWT berfirman :
 “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepadaNya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah dia, dan bertaqwalah kepadanya. Dan sekali-kali tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud 11:123)

                Tawakkal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman bahwa semua urusan kehidupan, dan semua manfaat dan mudharat ada ditangan Allah, akan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya dan akan ridha dengan segala kehendak-Nya. Dia tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya senang dan tentram, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah. Oleh sebab itu islam menetapkan bahwa iman harus diikuti sikap tawakkal. Allah SWT berfirman :

 “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al maidah 5:23)

 “(Dia-lah) Allah tidak ada tuhan selain dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja” (QS at taghabun 64:13)

Tawakkal Dan ikhtiar
                Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakkal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambal berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakikat tawakkal. Syaikh Muhammad Ahmad Arif, dalam salah satu khutbahnya di masjid al Azhar cairo menceritakan bagaimana kesalahpahaman terjadi pada masa imam ahmad ibn hambali. Ada seorang yang malas bekerja dan masa bodoh. Letika beliau bertanya mengenai sikapnya itu, ia menjawab : “Saya telah membaca hadist Rasulullah SAW yang mengatakan :

 “Jika saja kamu sekalian bertawakkal kepada allah dengan sepenuh hati, niscaya allah akan memberi rezeki untukmu sekalian, sebagaimana ia memberinya kepada burung : burung itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi dan ibnu Majah).
Maka sebab itu saya bertawakkal kepada zat yang memberi rezeki kepada burung itu”.
                Imam Ahmad lalu mengatakan “KAmu belum mengerti maksud hadist tersebut. Rasulullah menyebutkan bahwa pulang perginya burung itu justru dalam rangka mencari rezeki. Jika burung itu duduk saja disarangnya, tentulah rizkinya tidak akan datang”.

                Kesalahpahaman yang sama juga terjadi pada masa Rasulullah SAW. Seorang badui membiarkan untanya tidak diikat karena menurut  dia itulah cerminan sikap tawakkal. Rasulullahpun menegurnya :

 “Ikutlah dan Tawakkalah” (HR. Tarmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan thabrani).

                Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal telah memberikan contoh bagaimana seharusnya memahami tawakkal. Mereka adalah para pekerja kerasa dalam berbagai lapangan kehidupan; perdagangan, pertanian, perindustrian, keilmuan, dan lain sebagainya. Rasulullah SAW mendorong umatnya berekja keras. Beliau selalu berdoa agar dijauhkan dari sifat-sifat lemah dan malas.
                Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hokum sebab dan akibat. Usaha harus selalu dilakukan. Perhatikan, dalam situasi perang, sewaktu shalatpun kaum muslimin tidak boleh meninggalkan senjata. Allah berfirmah :

 “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereha (sahabatmu) lalu kamu hendsk mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu)  sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (Untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya allah telah menyediakan azab bagi yang menghinakan orang-orang kafir itu. (WS. An-nisa’ 4:102).

                Oleh sebab itu Allah memerintahkan umat islam untuk tetap selalu waspada, tidak lalai atau acuh tak acuh :

 “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (Ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An nisa’ 4:71)

                RAsulullah SAW juga mengajarkan bagaimana kita harus berusaha melakukan tindakan preventif untuk menghindari bahaya dan penyakit. Beliau bersabda :

 “Apabila kamu mendengar ada wabah penyakit disuatu daerah, maka janganlah kamu memasuki daerah itu. Dan apabila wabah itu sedang terjangkit didaerah kamu berada, maka janganlah kamu keluar dari daerah itu” (HR. Bukhari)

 “Matikan lampu-lampu diwaktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundi-pundi air dan tutuplah makan dan minuman” (HR. Bukhari)

Jangan bertawakkal kepada ikhtiar
                Sekalipun kita disurug untuk berikhtiar sebelum bertawakkal, disuruh mengikuti kumu sebab akinat, tetapi kita tidak boleh bertawakkal kepada ikhtiar. Sebab akibat memang sunnatullah. Belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu. Berobat adalah sebab untuk sehat. Tetapi bykanlah sebab semata-mata yang emnimbulkan akibat. Kadangkala ada sebab tapi tidak ada akibat. Seperti dua orang pasien dirumah sakit; penyakitnya sama, dokternya sama, obatnya sama, tapi yang satu meninggal dan yang satu hidup. Adakala para petani mengolah pertanianya dengan alat modern, dengan bibit yang paling bagus, pakai pupuk yang paling ampuh, datang musim dingin, musim panas, atau ekkeringan atau air bah, hancur semuanya.
                Sekalipun bukan sebab saja yang menimbulkan akibat, tetapi sebbab tidak boleh pula dilupakan. Yang disuruh oleh syara’ dan sesuai dengan akal adalah mengusahakan sebab, dan menyerahkan hasilnya pada allah. Usaha tanpa pertolongan allah Sia-sia. Oleh sebab itu seorang muslim tidak menggantungkan diri pada ikhtiar (Tanpa memasrahkannya kepada Allah), karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan. Kaum muslimin pernah mendapatkan pelajaran yang berharga waktu perang Hunain. Mereka bangga dnegan jumlah pasukan yang banyak, Akhirnya mengalami kekalahan. Tentang hal ini allah menggambarkan dalam al-qur’an :
 “Sesungguhnya Allah telah mnolong kamu (Hai para mukminin) dimedan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (Mu), maka jumlah yang banyak itu tidak akan memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari dari belakang dengan bercerai-berai. (QS. At Taubah 9:25)

                Demikianlah, ikhtiar diperintahakn, tapi tidak boleh tawakkal kepada ikhtiar. Disinilah bedanya seorang muslim dan seorang kafri. Kedua-duanya sama-sama berikhtiar, tapi yang pertama bertawakkal kepada allah SWT, sedangkan ayng kedua bertawakkal kepada ikhtiarnya.

Hikmah Tawakkal
                Sikap tawakkal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin. Sebab apabila seorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu; mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat penecanaan dnegan sangat cermat dan detail melaksanakanya dengan penuh disiplin, dan melakukan pengawasan dengan ketat; kalau kemudian masij mengalami kegagalan, dia tidak akan berputus asa. Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari allah SWR yang harus dihadapi dengan sabar. Sebaliknya jika berhasil dengan baik, dia bersyukur kepada Allah SWT, tidak sombong dan membanggakan diri, karena dia yakin semua usahanya tidak akan berhasil tanpa izin dari Allah SWT. Dnegan demikian, semua situasi dihadapinya dengan tenang. Bila gagal, bersabar, bila berhasil bersyukur. Bandingkan dengan seorang yang tidak memiliki konsep tawakkal dalam kehidupanya. Kegagalan bis amembuatnya setres dan putus asa, sementara keberhasilanya juga bisa membuatnya sombong dan lupa diri.
                Disamping itu sikap tawakkal juga memberikan kesenangan dan kepercyaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi masa depan dengan segala kemungkinanya tanpa rasa takut dan cemas. Yang penting berusaha sekuat tenaga, hasilnya Allah yang menentykan. Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap tawakkal. Emmbayangkan persaingan kehidupan yang semakin keras pada masa yang akan datang, emmbayangkan bermacam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan manusia dan hal-hal yang menakutkan, emnyebabkan dia cemas dan gelisah. Yang tentu juga akan mempengaruhi kesehatan fisiknya.
                Dan yang lebih pentig lagi orang yang bertawakkal akan dilindungi oleh Allah SWT. Allah berfirman :
 “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya allah akan mencukupkan (Keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq 65:3)

D.      Taubat
Taubat berakar dari kata taba yang berarti kembali. Oramg yang bertaubat kepada Allah adalah orang-orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhainya, kembali dari apa yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalkanya dan kembali taat setelah menentangnya.
                Searti dengan kata Taba adalah anaba atau aba. Orang yang bertaubat karena takut adzab allah disebut Taib (Isim fa’il dari faba), bila karena amal disebut munib (Isim fa’il dari anaba), dan bila karena mengagungkan allah SWT disebut Awwab.
Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atas kemaksiatan dia wajib segera bertaubat kepada Allah SWT. Yang dimaksud dengan kesalahan atau kemaksiatan disni adalah semua peruatan yang melanggar ketentuan syari’at islam. Baik dalam bentuk emninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, baik termasuk Shaghair (Dosa kecil) atau kabair (Dosa besar), Allah SWT berfirman :

“Dan bertaubatlah kamu saklain kepada Allah, Haiorang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An Nur 24:31)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dnegan Taubatan Nasuha (Taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam Jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, ….” (QS. At Tahrim 66:8)

                Kenapa harus segera bertaubat ? sebagian orang merencanakan bertaubat setlah umur agak lanjut, atau setelah merasa puas memperuntukkan hawa nafsu dimasa mudanya. Rencana seperti ini sangat spekulatif karena tidak seorangpun dapat menjamin berumur panjang. Kalau seorang berencana untuk bertaubat setelah berumur 40 tahun misalnya, bagaimana kalau umur 39 tahun ia meninggal sunia. Setiap orang pasti mati. Dan kematian itu misteri. Tidak seorangpun yang dapat mengetahui kapan datanya. Oleh karena itu seorang muslim harus menyadari bahwa ia telah berbuat kesalahan atau kemaksiatan dia harus segera bertaubat kepada Allah SWT tanpa menunda-nundaya. bahkan seorang muslim dianjurkan untuk selalu bertaubat kepada Allah sekalipun sia tidak mengetahui kesalahanya. Boleh jadi, tapa disadarinya dia telah melakukan kesalahan. Disamping memerintahkan kepada umatnya untuk bertaubat, Rasulullah SAW menyatakan bertaubat sampai serratus kali, beliau bersabda :

 “Hai manusia, bertaubat dan minta ampunlah kamu kepda SAW, karena sesungguhnya saya bertaubat serratus kali dalam sehari…” (HR. Muslim)
                Kita tahu rasulullah adalah sebaik-baik manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Beliau tidka meninggalkan perintah SAW dan tidak pula pernah melanggar Laranganya. Apalagi kita. Mestinya lebih banyak lagi minta ampun kepada allah SWT.
                Manusia tidak akan luput dari kesalahan. Tapi sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. Rasulullah SAW bersabda :

 “Setiap manusia (dapat berbuat) salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat” (HR. Tirmidzi, ibnu Majah dan Hakim)

Tak ada istilah terlambat untuk bertaubat
                Allah SWT maha penerima taubat, SAW pasti mengampuninya. Tidak ada istilah terlambat untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalau nyawa sudah berada di tenggorokan atau matahari sudah terbit dari barat, pintu taubat emmang sudah tertutup. Rasulullah SAW bersabda :

 “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malan supaya bertaubat oranf yang berbuat salah siang hari. Dan dia membentangkan tangan-Nya pada siang hari supaya bertaubat orang yang berbuat salah pada malam hari. Keadaan it uterus hingga matahari terbit dari barat” (HR. Muslim)

 “Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seseorang hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan” (HR. Tirmidzi)

                Dalam sebuah hadist yang panjang riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menceritakan bagaimana Allah tetap menerima taubat seseorang yang telah membunuh serratus orang apabila ia benar-benar bertaubat kepada Allah SWT. Dikisahkan bahwa laki-laki itu ingin bertaubat setelah membunuh 99 Orang. Tatkala ditanyakan kepada seorang Rahib –orang yang bijaksana- apakah taubatnya masih mungkin diterima, sang rahib menjawab tidak. Rahib tadi dibunuhnya hingga demikian dia telah genap membunuh 100 orang. Waktu ditanyakan kepada seorang alim –yang bijaksana- dia menjawab tentu bisa. Sebab siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat ? lalu seoarng alim tadi menyuruhnya pergi ke negeri lain bergabung dengan masyarakat disana yang taat-taat. Jangan kembali pada lingkunganmu yang penuh kemaksiatan. Dalam hadist itu dikisahkan bahwa taubatnya diterima Oleh Allah SWT sekalipun dalam perjalanan menuju masyarakat yang taat itu dia meninggal dunia.
Dalan satu hadit Qudsi Allah SWT berfirman :

 “Allah ta’ala berfirmsn : “Wahai bani ada, sesungguhnya selama engkau berdoa dan mengharap kepadaku, niscaya aku ampuni dosa-dosamu, dan aku tiada akan perduli. Wahai bani adam, jika sekiranya dosa dan kesalahanmu setinggi awan, lalu engkau memohon ampun kepadaku, niscaya aku ampuni. Wahai bani adam, andai engkau datang kepadaku dnegan membawa dosa sebanyak isi bumi kemudian engkau mati dalam keadaan tidak menyekutukan aku dengan suatu apapun, niscaya aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula” (HR. Tirmidzi)

                Jadi jelaslah bagi kita bahwa tidak ada dosa yang tidak terampuni kalau kita minta ampunan kepada Allah SWT, dan tidak ada kata terlambat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai di tenggorokan. Oelh sebab itu bersegeralah bertaubat sebelum maut datang menjemput yang entah kapan.

Lima Dimensi Taubat
Taubat yang sempurna memenuhi 5 dimensi
1.       Menyadari Kesalahan
Karena seseorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidka menyadari kesalahanya atau tidak merasa bersalah. Disinilah perlunya seorang muslim mempelajari agama islam, terutama tentang perintah-perintah yang wajib diikutinya dan larangan-larangan yang wajib di tinggalkanya. Dan disini pulalah pentingnya saling ingat mengingatkan sesame muslim.
2.       Memohon ampunan kepada Allah SWT.
Sekalipun seseorang tahu bahwa dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah melakukanya maka orang tadi belumlah dikatakan bertaubat. Apalagi kalau dia bangga dengan kesalahanya itu. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Menyesal itu adalah taubat” (HR. Abu daud dan Hakim)

3.       Berjanji tidak akan mengulanginya
Dengan keyakinan atau husn adz-zhan bahwa Allah SWT akan emngampuninya. Semakin banyak dan sering seseorang mengucapakan istighfar kepada Allah SWT semakin baik. Di atas sudah disebutkan hadist yang menyatakan bahwa sekalipun Rasulullah SAW tidak melakukan kesalahan atau kemaksiatan tapi belaiu tetap banyak istighfat, bahkan sampai serratus kali sehari. Rasulullah bersabda :

“Tidak ada dosa yang besar dengan istighfar, dan tidak ada dosa yang kecil kalau diulang-ulang” (HR. Thabrani)

4.       Menutupi Kesalahan masa lalu dengan amal shaleh
Untuk membuktikan bahwa dia benar-benar telah bertaubat. Tentang hal ini Allah SWT berfirman :

 “Dan sesungguhnya akum aha pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dijalan yang benar” (QS. Thaha 20:82)
Kebaikan yang dilakukan setelah bertaubat akan menghapus keburukanya pada masa yang lalu. Rasulullah SAW bersabda :
 “Bertaqwalah kamu kepda SAW dimanapun kamu erada, dan iringilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan menghapuskanya, dan pergaulilah manusia dnegan akhlaq yang baik” (HR. tarmidzi)
Dalam hadist lain Rasulullah SAW memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan menghapuskan keburukan :

 “perumpamaan orang yang mengerjakan perbuatan buruk kemudian mengerjakan perbuatan baik adalah seperti seoarng yang terbelenggu oleh ranta-rantai lalu dia melakukan kebaikan, maka terlepaslah rantai satu ikatanya, kemudian dia melakukan kebaikan lagi, maka terlepaslah dia dari rantai lainya sampai ia benar-benar terlepas” (HR. Ahmad dan Thabrani).
        Taubat yang memenuhi 5 dimensi diataslah yang disebut dengan taubat yang sempurna atau dalam Bahasa al-quran disebut taubatan nashuha (QS. At tahrim 66:8)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERUBAHAN PEJUANG SYAFII EFENDI

-SYAFII EFENDI- Motivator termuda no. 1